Minggu, 06 Mei 2012

Memandang Sumpah Dengan Sebelah Mata

Memandang dengan sebelah mata memiliki dua kemungkinan makna, bisa dalam arti sebenarnya yaitu hanya melihat dengan dengan satu mata, atau makna satunya yakni menyepelekan sesuatu. Tapi dua arti tersebut terjadi sekaligus dalam salah satu episode hidup saya. 1 November 2011 menjadi salah satu hari bersejarah dalam hidup saya, sumpah dokter. Bukan karena menjadi dokternya, tapi lebih karena saya sadar benar apa yang akan diucapkan hari itu menjadi konsekuensi profesi yang harus saya jalani di umur yang tersisa dan harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Kalau tau isinya sejak sebelum masuk FK, rasanya saya akan memilih jurusan lain saja yang gak ada sumpah-sumpahan. Nah…kalo acara begituan, kayaknya jarang deh perempuan bermata empat seperti saya menggunakan alat bantu, teu pantes kalo kata orang sunda mah. Maka saya memutuskan untuk membeli contact lens sebagai ganti kaca mata agar tidak tampak. Tentu saja saya sudah mempersiapkan sebelumnya.
Seminggu sebelum sumpah dokter, kami mengikuti wisuda (yang kedua kalinya setelah S1, banyak bener prosesi ya?). Tentu saja contact lens yang baru saya beli tersebut telah digunakan saat wisuda. Karena saya gak terlalu suka pakai contact lens, maka benda tersebut hanya saya gunakan pada hari H dan sehari sebelumnya sebagai upaya adaptasi (ceile…adaptasi). Tapi untuk sumpah, saya tidak melakukan upaya adaptasi itu, karena jeda antara wisuda ke sumpah kami sekeluarga berangkat ke Surabaya untuk mengunjungi saudara, sehingga sesampainya di Semarang, kelelahan membuat kemalasan saya menggunakan contact lens semakin menjadi. 

Dalam perjalanan Surabaya semarang, seorang teman saya, sebut saja namanya Lida (emang namanya Lida) me-sms, curcol tentang contact lens-nya yang robek padahal baru dibelinya. Saya tanggapi saja sebisanya, berbekal pengetahuan bisnis optikal orangtua saya. Saya baru sadar saat ini bahwa ternyata kejadian tersebut adalah peringatan dari Allah yang tidak saya hiraukan, menyesal jadinya. 


Malam hari ketika besoknya 1 November 2011 sebelum tidur, hati kecil saya berkata untuk mengecek segala sesuatu yang akan saya bawa dan kenakan untuk keesokan harinya. Tapi apa daya, kelelahan membuat saya menyerah, tak kuasa mengikuti si hati kecil. Apalagi seminggu sebelumnya sudah wisuda, ah sama saja,hanya mengulang seperti minggu lalu pikir saya. Pukul 02.30 saya bangun, bergegas mandi, beraktivitas lain dan pastinya menggunakan contact lens. Karena saking jarangnya memakai benda ini, maka butuh waktu lama bagi saya untuk memasangnya, jadi sebelum shalat shubuh harus sudah terpasang. Lensa yang pertama kali saya pakai adalah yang sebelah kanan. Betapa kagetnya saya ketika mengambil contact lens dari tempatnya yang bertuliskan R tersebut dan meletakan di telapak tangan. OMG…ga da angin ga ada hujan,contact lens-nya robek!MasyaAllah…Innalillahi…bagaimana bisa saya yang berminus 5 di mata kanan ini bisa melihat tanpa alat bantu. 


Yap, kebiasaan jelek saya adalah tidak menyiapkan ban serep, eh contact lens serep, sebagai ganti bila terjadi sesuatu. Dimana beli contact lens pagi buta begitu?Ya Allah…ampuni hamba yang tidak pandai mengambil pelajaran, padahal sudah jelas ada peringatan dari-Mu Ah, saya tidak mau menyerah. Saya paksakan saja menggunakan contact lens yang robek tinggal 2/3 bagian itu. Terpasang? Iya sih, tapi saya harus menengadahkan kepala lebih lama dibandingkan posisi tegak untuk menghindari gravitasi (iya gitu?). Butuh waktu 45 menit untuk memasang contact lens kanan disertai linangan air mata (bukan sedih, tapi karena mata terasa perih). Dan hanya sepuluh menit saja untuk memasang yang sebelahnya. 


Adzan shubuh berkumandang tepat saat saya selesai memasang contact lens, Alhamdulillah…Setelah shalat shubuh yang mana khusus untuk saat itu saya memejamkan mata ketika ruku dan sujud (ini bukan saking khusyuknya, kalian pasti tau kenapa) saya langsung bergegas menyiapkan diri. Selama bersiap-siap, air mata tidak henti-hentinya mengalir karena teriritasi contact lens yang tinggal sebagian. Akhirnya saya putuskan untuk melepas contact lens tersebut, yang artinya sepanjang prosesi sumpah saya hanya melihat dengan sebelah mata! Saya berusaha cuek, jangan sampai ada yang tau kalau saya hanya menggunakan contact lens sebelah mata. Sulit rasanya, sangat tidak nyaman. Saat akan menandatangi lembaran sumpah dokter dan ketika naik-turun tangga, saya harus memicingkan mata supaya lebih jelas. Tidak ada yang tau tentang ini selain Allah, malaikat-Nya, saya dan beberapa orang yang saya beritahu serta anda yang membaca cerita saya ini. Alhamdulillah sudah terlewati dan berjalan lancar.


Memandang dengan sebelah mata part 2 
Nah…ini yang lebih penting dibanding pengalaman pahit saya di atas. ‘Memandang dengan sebelah mata’, makna lainnya adalah menyepelekan. H-1 sebelum sumpah dokter, kami diminta untuk melakukan gladi bersih. Persiapan tersebut dilakukan di Gedung Prof.Soedarto, kampus Tembalang, lumayan jauh dari tempat kost. Awalnya saya merencanakan untuk naik bus saja, karena memang belum dapat tebengan. Rizki emang ngga kemana, dalam perjalanan ke perempatan tempat mangkal bus, saya bertemu dua orang rekan saya yang baik hati, Asda dan Ichi. Mereka mengajak saya untuk berangkat bersama naik mobil Kiki, katanya kemungkinan masih ada lagi satu tempat kosong, akhirnya saya ikuti mereka. Benar saja, masih ada satu tempat lagi, Alhamdulillah… Kami diantar oleh ayahnya kiki. 


Dalam perjalanan, saya membaca buku Kodeki yang di dalamnya ada lafal sumpah dokter. Ichi bertanya,” Itu apa Nis?” “Oh, ini kodeki Ichi. Aku lagi ngapalin lafal sumpah dokter.” Ya, sejak semalam aku berusaha menghapalkannya. Kupikir, ini sumpah kawan, bawa-bawa nama Allah ga boleh sembarang ngomong, jadi kalau hapal saja tidak, bagaimana mau mengamalkan. Cuma sedikit ko, hapalkan saja. Seseorang dalam mobil itu tertawa dan berucap, “Ngapain dihapal?kan nanti ada teksnya, tinggal dibaca aja.mending belajar UKDI daripada ngapalin itu” Aku terdiam, hatiku berkata “Hmm…memandang sumpah dengan sebelah mata.” Pembicaraan lalu beralih ke topik lain. 


Beberapa bulan kemudian… Saya sedang bekerja di salah satu klinik di Kota Bandung. Suatu hari datang seorang wanita paruh baya ke klinik. Saat itu hari Sabtu, wanita ini mengatakan, adiknya saat ini sedang bekerja dan sudah janjian dengan sebut saja dr.X (dokter pemilik klinik tersebut) untuk kontrol di hari Senin. Sekarang adiknya tersebut butuh surat keterangan sakit karena perlu diserahkan hari ini. Setelah penjelasan yang panjang lebar dari wanita tersebut, saya menolak untuk membuat surat keterangan karena saya sama sekali tidak pernah memeriksa pasien tersebut, bertemu saja tidak. Wanita itu terus berusaha memaksa saya membuat surat keterangan sakit karena sebelum-sebelumnya juga sudah biasa seperti itu. Yah…si ibu ga ngerti mungkin ya kalau saya terikat sumpah dan kode etik kedokteran. 


Di kesempatan yang lain, saat pasien sepi saya pernah ditanya oleh pegawai yang bukan berlatarbelakang kesehatan, “Eh, dok itu pasien X sakit apa sih, ko kaya gitu” sambil membolak-balikan kertas CM ia terus bertanya, “ini apa sih dok maksudnya.” Bisa jadi kita pernah terjebak untuk membicarakan pasien tidak pada tempatnya sehingga jatuhlah kita pada mendzolimi hak pasien sekaligus melanggar sumpah kita. Andai pernah melakukannya, rasanya kita harus bertaubat! Itu hanya beberapa kisah setelah beberapa bulan mengucapkan sumpah. Bisa jadi akan banyak kejadian lagi untuk menguji keimanan kita. Sudah lupa lafalnya? Tentu saja! (ada yang lupa, ada yang ingat). Tapi setidaknya, kalau pernah berusaha mengingatnya, inti-inti tiap poin masih bisa kita ingat Sekedar mengingatkan, inilah sumpah itu;
Demi Allah, saya bersumpah bahwa : 
1.Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; 
2.Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter; 
3.Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran 
4.Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya 
5.saya tidak akan mempergunakan pengetahuan ke­dokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan sekalipun diancam, 
6.Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; 
7.Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat; 
8.Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender,politik, kedudukan social dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; 
9.Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; 
10.Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung; 
11.Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia

12.Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan memper­taruhkan kehormatan diri saya.
Jauh sebelum saya dan rekan-rekan sejawat mengucapkan sumpah ini, kami di FK Undip semester satu pernah ditugaskan untuk menulis satu buku Kodeki dengan tulisan tangan. Kodeki yang isinya Pasal-pasal serta lafal sumpah di dalamnya, ya tulisan tangan sodara-sodara! Satu buku pula. Di zaman modern nan canggih seperti saat ini, masih ada tugas seperti itu, saat itu benar-benar saya tidak habis pikir apa maksud dosen yang menugaskan. Enam tahun kemudian baru saya mengerti arti tugas tersebut. Alhamdulillah saya bisa merasakan pengalaman memandang sumpah dengan sebelah mata, sehingga makin bersyukur dengan nikmat mata ini, bersyukur karena masih diberikan nikmat untuk bisa melihat. Dan semoga saya, dan anda juga, terhindar dari ‘Memandang sumpah dengan sebelah Mata’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`:34)
Bukankah menepati janji kebaikan itu nikmat?
Dari Haritsah bin Wahab ra, bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda: Maukah kalian aku beritahu tentang ahli surga? Para sahabat berkata: Mau. Rasulullah saw. bersabda: Yaitu setiap orang yang lemah dan melemahkan diri, seandainya ia bersumpah demi Allah, pasti akan dilaksanakan. Kemudian beliau bertanya lagi: Inginkah kamu sekalian aku beritahukan tentang ahli neraka? Mereka menjawab: Mau. Beliau bersabda: Yaitu setiap orang yang kejam, bengis dan sombong

Hadits Sahih Muslim no. 5092 

-Tulisan ini untuk yang pernah dan akan mengucapkan sumpah dokter, agar tidak memandang sebelah mata seperti saya.-


Bandung, 28 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar