Jumat, 15 April 2011

Hamil boleh Lelah, Ibadah ga boleh lengah!#Part 2

Lagi hamil, sholatnya boleh di-jama’ ngga ya?
Para ulama sepakat bahwa sholat hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan, termasuk bagi wanita yang sedang hamil. Wanita hamil tidak diperbolehkan meninggalkan sholat karena kehamilannya, dan kewajiban sholat memang tidak gugur karena kehamilan.
Kehamilan adalah sesuatu yang menyulitkan dan dapat menyebabkan seorang wanita menjadi lemah. Kondisi ini terkadang menyebabkan seorang wanita hamil merasa berat mengerjakan thoharoh dan sholat tepat waktu. Lalu, apakah wanita hamil diperbolehkan menjama’ sholatnya?

Untuk menerangkan hukum seputar menjama’ sholat bagi wanita hamil, padahal dia sedang tidak musafir, maka terlebih dahulu harus dijelaskan hal-hal yang menyebabkan diperbolehkannya seseorang melakukan keringanan menjama’ sholat, terutama yang terkait dengan adanya udzur berupa masyaqqoh (bahaya) dan ketidakmampuan seseorang melakukannya. Hal itu disebabkan hamil adalah salah satu faktor yang menyebabkan seorang wanita berada pada posisi masyaqqoh yang secara otomatis menjadikannya lemah. Kelemahan itu membuat wanita hamil tidak mampu mengerjakan sholat tepat pada waktunya beserta hal yang mengiringinya, termasuk bersuci. Karena rangkaian kewajiban itu berada di atas kemampuan seorang wanita yang sedang hamil. Termasuk pula ketidakmampuannya berdiri sempurna sebagai syarat sholat.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal menjama’ dua sholat karena adanya masyaqqoh dan kelemahan pada saat itu Perbedaan itu terbagi dalam dua kategori.


Pendapat pertama mengatakan bahwa tidak diperbolehkan menjama’ sholat karena alasan tersebut. Pendapat ini diungkapkan oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dll.Pendapat ini berdasarkan dalil:
Hadits Jabir bin Abdullah:’ Jibril pernah bermakmum kepada Nabi dalam sholat selama dua hari berturut-turut. Dijelaskan bahwa pada hari pertama sholat dikerjakan di awal waktu dan pada hari kedua di akhir waktu sholat. Kemuadian Jibril berkata:’ Waktu di antara dua sholat itulah waktu sholat.’ Inti dari Hadits ini ini adalah Malaikat Jibril ketika itu bermaksud menjelaskan awal dan akhir waktu sholat. Hal ini sekaligus memberikan penegasan bahwa tidak diperbolehkan mengerjakan suatu sholat di luar waktu tersebut, baik menunda atau memajukannya, artinya dilarang pula menjama’ sholat.
Namun dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rosululloh pernah memerintahkan Sahlah binti Suhail dan Hamnah binti Jahsy ketika mengalami Istihadhoh untuk menta’khirkan dzuhur, menyegerakan ashar, dan menggabungkan keduanya dalam sekali mandi. Dari sini terlihat bahwa mereka berdua diperbolehkan menjama’ sholat karena istihadhoh. (Ibnu Qudamah, al Mughni, II/277)

Pendapat kedua adalah ulama yang memperbolehkan menjama’ dua sholat karena sebab Masyaqqoh dan ketidakmampuan. Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah dan al Qodhi Husain, serta beberapa ahli hadits. Akan tetapi mereka menetapkan syarat berupa tidak diperbolehkan mengeneralisir bahwa setiap yang mengganggu dan menyebabkan kelemahan seseorang menjalankannya menjadi sebab diperbolehkan baginya menjama’ sholat. Ketidakmampuan yang dimaksud di sini hanyalah Masyaqqoh yang sangat berat hingga menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankannya. Jadi, yang dimaksud di sini bukanlah kesulitan biasa dan dapat menyebabkan seseorang boleh menjama’ beban syari’at baginya. Dalil dari pendapat ini adalah:
Riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rosululloh pernah menjama’ sholat dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya ketika tidak dalam kondisi peperangan dan tidak pula sedang hujan. Ketika Ibnu Abbas ditanya mengapa nabi melakukan hal itu, dia menjawab,’Agar tidak memberatkan bagi umatnya. (Shohih Muslim I/490)

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas maka pendapat yang lebih kuat adalah diperbolehkannya menjama’ sholat karena ada udzur, masyaqqoh, dan lemahnya fisik. Imam Ahmad berkata sehubungan dengan Hadits Ibnu Abbas tersebut, ‘ Hal ini menurutku adanya keringanan bagi orang yang sakit dan menyusui.’ (Ibnu Qudamah, al Mughni, II/277). Hal ini juga mengisyaratkan adanya keringanan pula bagi orang yang mengalami kepayahan setara atau diantara dua masyaqqoh tersebut.( Ibnu Qudamah, al Mughni, II/278). Wanita hamil termasuk orang yang diperbolehkan menjama’ sholat apabila hal itu dibutuhkan. Tetapi bila mereka kuat sebaiknya memisahkan sholat sesuai waktunya. Alloh berfirman:
“ dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Dengan demikian, seorang wanita hamil yang berat melakukan sholat boleh menjama’nya sebagai bentuk adanya hukum takhfiif (keringanan).

Dirangkum dari:
Buku terjemahan ‘Ahkaam al Mar’ah al Haamil’ karya Yahya bin Aburrahman Al Khathib dengan judul Indonesia Fiqh Wanita Hamil
-27 Oktober 2010-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar